Mengapa PSG ‘Tertinggal’ dari Klub-klub Besar Eropa dari Segi Sejarah
Oleh Dananjaya WP, Nadia Hutami
Paris Saint-Germain (PSG) menjadi salah satu klub Ligue 1 yang mendapat sorotan tinggi di Eropa dan dunia sepakbola dalam satu dekade terakhir. Perkembangan di dalam maupun luar lapangan berujung dengan dominasi di tingkat domestik dan ambisi tinggi untuk menjuarai Liga Champions.
Terdapat beberapa aspek yang membuat dominasi PSG dianggap kontroversial, salah satunya adalah usia klub yang relatif muda dibandingkan klub-klub besar lain di Eropa. Les Parisiens dapat disebut tertinggal dari segi sejarah.
Kali ini, kami akan membahas mengapa PSG memang dapat disebut tertinggal dari segi sejarah dibandingkan dengan klub-klub besar lainnya di Eropa.
Dibentuk dari Merger dua Klub
Paris Saint-Germain dibentuk pada 12 Agustus 1970 dari gabungan Paris Football Club (Paris FC) dan Stade Saint-Germain. Paris FC adalah klub baru kota Paris yang dibentuk pada 1969 yang bermarkas di Stade Charlety.
Pendiri klub, Guy Crescent dan Pierre-Etienne Guyot menggabungkan Paris FC dengan Stade Saint-Germain, yang notabene berada di luar kota Paris. Klub baru ini pun langsung sukses dengan menjuarai Divisi Kedua pada 1970/71.
Tapi sayangnya, PSG ketika itu tidak didukung oleh Walikota Paris. Alasannya sebenarnya cukup mengejutkan. Yaitu karena Stade Saint-Germain bukanlah klub asli Paris.
Keputusan walikota Paris untuk menolak memberi dukungan kepada klub yang tidak berada di pusat kota memberi dampak signifikan. Paris terpisah menjadi dua klub.
Paris FC, yang akhirnya dibentuk kembali pada 1972, bertahan di divisi teratas, sedangkan klub yang kemudian dikenal menjadi Paris Saint-Germain hingga kini harus turun ke divisi ketiga, sesuai dengan peraturan administrasi yang berlaku saat itu.
Peran Santiago Bernabeu dan Daerah Saint-Germain
Keputusan walikota Paris untuk menolak memberi dukungan kepada PSG berkaitan dengan lokasi pendirian klub. Setelah mendapat penolakan merger dari CS Sedan Ardennes, pendiri klub yang saat itu bernama Paris FC datang ke daerah Saint-Germain-en-Laye.
Daerah tersebut berada sekitar 15km di luar kota Paris, tepatnya ke arah Barat dari ibu kota Prancis. Pada awal pendiriannya, Guy Crescent dan Pierre-Etienne Guyot mendapat saran dari Presiden Real Madrid, Santiago Bernabeu. Upaya untuk memperoleh dana berujung dengan ide mencari sumbangan, yang berakhir dengan kesuksesan.
Petisi untuk mendirikan klub mendapat dukungan dari nyaris 20 ribu penduduk. Kembali ke penolakan dari walikota Paris, PSG terpaksa turun ke divisi ketiga dengan status amatir. Sementara Paris FC bertahan di divsi teratas dengan seluruh aset dan pemain yang sebelumnya dimiliki PSG.
Tetapi kesulitan yang dirasakan tidak bertahan lama. Les Parisiens hanya membutuhkan waktu selama dua tahun sebelum kembali ke divisi teratas. Hal ironis dari keberhasilan ini adalah Paris FC yang terdegradasi ke divisi kedua dan memutuskan untuk tidak menggunakan Parc des Princes sebagai stadion dan memilih kembali ke Stade Charlety.
PSG kemudian menjadi pengguna tunggal dari Parc des Princes hingga kini, dan masih belum terdegradasi dari divisi teratas sejak kembali ke Ligue 1 pada 1974.
Jatuh bangun PSG sebelum diakusisi Qatar Sports Invesments
Setelah kembali ke Ligue 1 pada 1974, PSG pun meraih berbagai kesuksesan di liga teratas Prancis tersebut. Les Parisiens meraih titel pertama pada 1985/86, tapi setelah itu PSG seolah berjalan mundur sampai akhirnya, pemilik klub di era 80an, Francis Borelli, merelakan klub kesayangannya itu diakuisi Canal+, yang merupakan perusahaan stasiun televisi terbesar di Prancis.
Setelah diakusisi Canal+, nasib PSG mulai membaik. Akusisi ini juga membuat keuangan klub membaik dan mereka pun mulai mendatangkan pemain demi pemain untuk memperkuat skuad seperti bintang Brasil Ricardo dan bintang Prancis, Laurent Fornier.
Sampai akhirnya mereka pun menikmati masa-masa emas pertama di era 1990an. Meraih titel Ligue 1 di 1993/94, Coupe de France pada 1992/93, 1994/95, dan 1997/98 serta Piala Winners pada 1996.
Tapi lagi-lagi PSG dibayang-bayangi kebangkrutan hingga Canal+ menjual kepemilikan klub ke Colony Capital, Butler Capital Partners, dan Morgan Stanley.
Setelah ganti kepemilikan, PSG mulai bangkit kembali. Meski kali ini masalah keuangan mereka membaik, tapi masalah justru terjadi di lapangan. Usai meraih beberapa trofi di awal 2000an, PSG dua kali nyaris terdegradasi ke Ligue 2 pada musim 2006/07 dan 2007/08. Saat itu PSG pun sudah dipandang sebelah mata oleh lawan.
Sampai pada akhirnya PSG secara mengejutkan dibeli Qatar Sports Investments, yang menjadikan mereka klub terkaya di Prancis dan dunia. Tradisi mendatangkan pemain-pemain bintang berkualitas kembali dilakukan, mulai dari Zlatan Ibrahimovic, Edinson Cavani, Neymar Jr, Kylian Mbappe, sampai yang terakhir Lionel Messi.
Rivalitas dengan Marseille yang Terjadi Akibat Skuad Penuh Bintang
Olympique Marseille menjadi klub utama yang dipandang sebagai rival oleh PSG. Pertandingan antara kedua klub tersebut disebut sebagai Le Classique, setara dengan El Clasico (Real Madrid vs Barcelona di La Liga). PSG dan Marseille termasuk dalam dua klub tersukses di Prancis (selain Olympique Lyonnais) dengan persaingan yang dimulai dari tahun 1970an dan terlihat jelas pada 1986.
Akuisisi Marseille oleh Bernard Tapie memberi dampak signifikan. OM memiliki skuad yang diisi berbagai pemain bintang seperti Jean-Pierre Papin dan Eric Cantona. Francis Borelli, yang menjadi Presiden PSG saat itu, menyampaikan tuduhan bahwa Tapie dan Marseille melakukan pengaturan skor untuk menjuarai Ligue 1 1988/89.
Pada periode 1990an, akuisisi Canal+ (media besar di Prancis) memberi bantuan signifikan terhadap PSG. Tetapi saluran televisi itu juga memiliki kesepakatan dengan Tapie untuk memanaskan rivalitas antara PSG dan Marseille.
Tuduhan pengaturan skor terhadap Tapie dan Marseille kembali disorot ketika mereka menjuarai Liga Champions 1992/93, yang membuat klub yang bermarkas di Stade Velodrome itu kehilangan titel Ligue 1 musim 1991/92. Keputusan persidangan yang menyusul pada 1995 dan permasalahan finansial membuat Marseille terdegradasi dan berada di divisi kedua selama dua musim.
Sejak saat itu, pertemuan antara Marseille dan PSG selalu berlangsung dengan panas. Dominasi PSG sejak 2010 hingga kini tidak membuat Marseille dan suporternya kehilangan semangat ketika laga berlangsung.