Mengapa Timnas Jerman Terpuruk dalam Lima Tahun Terakhir?
- Hansi Flick menjadi pelatih pertama yang dipecat oleh DFB dari posisi pelatih Timnas Jerman.
- Kekalahan 1-4 dari Jepang menjadi laga terakhir Flick dengan Timnas Jerman.
- Krisis di Timnas Jerman dalam lima tahun terakhir bukan hal yang mengejutkan.
Oleh Dananjaya WP
DFB (Federasi Sepak Bola Jerman) telah mengambil keputusan untuk memecat Hansi Flick dari posisinya sebagai pelatih utama. Flick menjadi pelatih utama pertama yang dipecat dari posisinya. Sebelumnya, pelatih lainnya mendapatkan kesempatan untuk mengundurkan diri.
Kekalahan 1-4 dari Jepang dalam pertandingan yang diadakan di Volkswagen Arena (stadion Wolfsburg) menjadi laga terakhir bagi Hansi Flick sebagai pelatih utama Timnas Jerman.
Baca Juga
Keterpurukan Jerman nampak terus berlanjut setelah Piala Dunia 2018, Piala Eropa 2020, dan Piala Dunia 2022. Jelang Piala Eropa 2024 yang akan diadakan di negara mereka sendiri, Jerman nampak masuk ke krisis yang tidak mengejutkan apabila Anda memerhatikan apa yang terjadi di sepak bola Jerman dalam lima hingga enam tahun terakhir.
Mengapa Timnas Jerman terpuruk dalam lima tahun terakhir?
Kegagalan Hansi Flick di Timnas Jerman Bukan Kejutan
Hansi Flick ditunjuk menjadi pelatih utama Timnas Jerman pada Agustus 2021, menggantikan posisi yang sebelumnya diiisi oleh Joachim Low. Flick mendapatkan kontrak berdurasi tiga tahun hingga 2024. Awalnya, kedatangan Flick memberikan angin segar dan beberapa hasil positif.
Timnas Jerman meraih tujuh kemenangan beruntun dalam rangkaian laga kualifikasi Piala Dunia 2022. Tujuh laga perdana Flick dengan Jerman berlangsung pada akhir 2021. Setelah pergantian tahun, inkonsistensi mulai melanda tim tersebut. Jerman hanya meraih empat kemenangan dan tersingkir dari fase grup Piala Dunia dalam dua turnamen secara beruntun.
Penurunan yang tajam terjadi sepanjang 2023. Jerman hanya mendapatkan satu kemenangan, satu imbang, dan kalah dalam empat pertandingan. Seri dokumenter All or Nothing yang dibuat oleh Amazon pada Piala Dunia 2022 juga memperlihatkan kelemahan Flick sebagai seorang pelatih. Kegagalannya membangun hubungan positif dengan para pemain, meningkatkan motivasi, hingga meracik taktik yang ideal.
Melihat latar belakang dan rekam jejak Flick secara keseluruhan, kegagalan ini bukan hal yang mengejutkan. Meskipun menciptakan sejarah dengan Bayern Munchen, Flick minim pengalaman di tingkat senior sebagai seorang pelatih. Faktor itu menjadi kelemahan utamanya di Timnas Jerman.
Permasalahan Struktur dan Pengambilan Keputusan di dalam DFB
Kegagalan yang terjadi di Timnas Jerman tidak sepenuhnya menjadi kesalahan Hansi Flick. DFB (Federasi Sepak Bola Jerman) juga memiliki permasalahan yang membuat keterpurukan ini sudah dapat diperkirakan. Keputusan untuk mempertahankan Joachim Low sebagai pelatih utama hingga Piala Eropa 2020 (pada 2021) menjadi salah satu bendera merah.
Kemudian, keputusan untuk menunjuk Hansi Flick sebagai pengganti memperlihatkan bahwa DFB tidak memiliki gambaran yang memadai untuk filosofi permainan yang ingin diterapkan oleh seluruh tim yang ada bagi Jerman.
Kondisi finansial DFB juga patut mendapatkan sorotan. Pembangunan markas latihan dan pengembangan membututuhkan dana yang signifikan. Proyek jangka panjang tersebut memberi pengaruh terhadap pemilihan sosok yang mengisi berbagai posisi manajemen, mulai dari akademi, direktur, hingga kepelatihan.
Kekurangan di tingkat akademi memang belum terlihat jelas saat ini, tetapi dapat terus berlanjut apabila tidak ada perubahan yang diharapkan. Dari segi struktur, pernyataan dari DFB melalui Rudi Voller juga patut disorot. Dalam pernyataan tersebut, salah satu hal penting yang dapat dilihat adalah keinginan untuk mengambil keputusan, tanpa adanya ide atau alasan yang jelas selain dari penurunan performa dan rangkaian hasil yang mengecewakan.
Isu Jangka Menengah Hingga Panjang Terkait Kepelatihan dan Pengembangan Pemain
Pandangan yang menyatakan bahwa kualitas sebuah tim nasional dapat dilihat dari kualitas kompetisi domestik negara yang bersangkutan dapat kembali dibicarakan di sini. Bundesliga memang pantas mempertahankan status mereka sebagai satu dari lima liga top Eropa.
Hiburan dan suasana laga di Jerman adalah aspek unik yang sulit dilihat di negara-negara lainnya (mungkin selain Turki dan negara-negara Eropa Timur). Tetapi dari segi produksi pemain, Bundesliga dan Jerman kembali merasakan permasalahan yang membuat mereka melakukan revolusi pada 2002.
Jerman secara keseluruhan memiliki kekurangan yang signifikan dari dua posisi – penyerang tengah dan bek sayap – bukan dari segi kuantitas, tetapi kualitas. Ketika Niclas Fullkrug (30 tahun) menjadi pemain yang diandalkan untuk memimpin lini depan, dan Kai Havertz (bukan penyerang murni) mendapatkan waktu bermain yang tinggi di lini depan, adalah gambaran yang jelas dari permasalahan ini.
Sementara untuk posisi bek sayap, keputusan Hansi Flick untuk menggunakan Nico Schlotterbeck menjadi bek sayap kiri, dan debat terkait posisi terbaik Joshua Kimmich, sudah menjadi penjelasan yang memadai untuk kekurangan di posisi bek sayap.
Jerman tidak dapat mengharapkan produksi pemain dengan fleksibilitas yang tinggi di seluruh lini. Kadang, spesialis di posisi tertentu dapat menjadi solusi dari permasalahan yang dihadapi di dalam lapangan.