OPINI: Kembali Bergulirnya Kompetisi Tak Selamanya Menguntungkan Klub

Liverpool masih membutuhkan setidaknya dua kemenangan untuk menjadi juara Liga Inggris 2019/20
Liverpool masih membutuhkan setidaknya dua kemenangan untuk menjadi juara Liga Inggris 2019/20 / Robbie Jay Barratt - AMA/Getty Images
facebooktwitterreddit

Empat dari lima kompetisi sepak bola top Eropa memutuskan untuk kembali mengelar musim 2019/20 yang terhenti pada Maret silam karena pandemi virus korona. Keempat liga itu adalah Serie A, Bundesliga, Liga Inggris, dan La Liga. Hanya satu liga yang memutuskan untuk menghentikan secara permanen kompetisi 2019/20 tanpa harus menyelesaikannya, yaitu Ligue 1.

Sementara Bundesliga sudah bergulir sejak akhir Mei dan La Liga sudah kembali pada akhir pekan lalu, Liga Inggris dan Serie A akan kembali dihelat akhir pekan ini. Kompetisi sepak bola Italia sebenarnya sudah dibuka dengan dua partai semifinal leg kedua Copa Italia akhir pekan lalu, dengan Juventus dan Napoli akhirnya menjadi dua finalis tahun ini.

Keputusan untuk menggelar kembali musim 2019/20 pada keempat kompetisi tersebut dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Alasan finansial klub hingga keinginan untuk menghasilkan akhir kompetisi yang adil menjadi dua faktor yang paling sering dibahas.

Aturan di semua kompetisi yang kembali bergulir tidak membiarkan para suporter berkumpul di stadion alias semua laga dilakukan dalam stadion tertutup. Keputusan ini tentu merugikan finansial klub-klub yang sangat mengandalkan pemasukan tiket, namun tidak menggelar laga sama sekali tentu jadi pilihan yang lebih buruk karena mereka juga akan kehilangan uang dari hak siar.

Sementara alasan untuk menciptakan hasil akhir kompetisi yang adil, dengan kepentingan untuk menentukan tim juara, siapa saja yang lolos ke kompetisi Eropa maupun degradasi juga menjadi keinginan sebagian suporter.

Persaingan beberapa kompetisi seperti Serie A dan La Liga sedang berjalan ketat dengan masing-masing liga masih memiliki dua hingga tiga tim yang berpeluang juara. Sementara perebutan tiket Liga Champions maupun Liga Europa secara keseluruhan memang masih terbuka untuk lima hingga enam tim.

Tapi apakah menggelar kompetisi kembali merupakan sebuah keputusan yang minim risiko? Jika kita mengetahui bagaimana mudahnya penyebaran virus korona, menggelar kompetisi kembali sepertinya menjadi pilihan dengan risiko yang kurang layak untuk diambil, terutama jika negara dari kompetisi bersangkutan terbukti belum mampu mengendalikan laju penyebaran hingga seminim mungkin.

Satu kasus positif terjangkit virus korona mengenai salah satu pemain Norwich yang tidak disebutkan namanya pada awal pekan ini. Padahal Norwich baru saja menggelar laga persahabatan dengan Tottenham Hotspur akhir pekan lalu.

Meski sang pemain dikatakan tidak melakukan kontak yang memungkinkan dirinya menulai rekan setim maupun staf dan pemain lawan, kekhawatiran mengenai keselamatan tiap orang yang terlibat dalam pertandingan nantinya harusnya menjadi fokus utama.

Dengan begitu rapatnya jadwal saat kompetisi kembali bergulir, frekuensi kontak fisik dengan berbagai pihak tidak bisa dihindari. Meski Jerman dengan Bundesliga-nya sudah membuktikan bahwa situasi bisa dikendalikan saat kompetisi kembali bergulir, penanganan dan tingkat keberhasilan setiap negara dalam menangani virus korona jelas berbeda, dan yang paling mengkhawatirkan tentu saja Inggris.

Dua warga negara pendatang dari Negeri Ratu Elizabeth itu bahkan menimbulkan kasus baru di Selandia Baru yang sudah menyatakan diri bebas dari virus korona dalam 24 hari terakhir.

Selain risiko penyebaran virus korona, kondisi fisik para pemain yang sudah 'berlibur' selama hampir tiga bulan juga berisiko besar rentan cedera. Tekanan untuk menghasilkan tiga poin bagi tim-tim yang masih memburu trofi, tiket kompetisi Eropa, dan bertahan dari degradasi tentu akan mendorong para pemain untuk memaksimalkan kemampuan tubuh mereka. Jika tim-tim yang terlibat dalam kompetisi sepak bola yang kembali bergulir bulan ini tidak memberikan menu latihan yang tepat, cedera parah siap menghukum para pemain mereka.

Pertanyaan lainnya adalah apakah para pemain dan staf kepelatihan sudah benar-benar siap dengan penjadwalan baru untuk musim 2020/21 yang kemungkinan bakal langsung bergulir tidak lama setelah kompetisi musim 2019/20 berakhir, tanpa adanya masa pramusim?

Belum lagi, karena awal kompetisi yang hampir dipastikan mundur itu juga bisa berarti bahwa akhir kompetisi 2020/21 juga akan sangat berdekatan dengan ajang Piala Eropa pada musim panas tahun 2021, dan para pemain kembali dibenturkan dengan situasi yang tidak ideal dan bahkan mungkin agak membahayakan kondisi fisik mereka.

Bisa dikatakan setiap tim kini tak hanya berjudi dengan kondisi finansial mereka dan masa depan mereka sebagai bagian dari sebuah sistem kompetisi, kebutuhan untuk sukses atau memenuhi target tertentu, tapi juga dengan kondisi kesehatan para pemain dan staf dan siapa pun yang harus hadir di lapangan untuk membiarkan kompetisi kembali bergulir.

Sifat virus korona yang sangat mudah menular sudah terbukti bisa menimbulkan gelombang kedua dan bahkan sangat mungkin gelombang-gelombang berikutnya jika tidak diantisipasi dengan baik. Kabar dari Tiongkok hari ini menyebutkan bahwa 100 kasus baru ditemukan di Negeri Tirai Bambu tak lama setelah negeri itu membuka isolasi wilayah.

Jika sudah begini, kita hanya bisa berdoa saja bahwa kembalinya kompetisi sepak bola di keempat liga top Eropa tak menjadi alasan utama munculnya gelombang kedua atau melonjaknya kasus baru di negara-negara tersebut.