OPINI: Tren Klub Menunjuk Mantan Pemain Sebagai Pelatih
Oleh Nanda Febriana
Penunjukkan Andrea Pirlo sebagai pelatih Juventus pada awal Agustus 2020 ini untuk menggantikan Maurizio Sarri yang dipecat, memperpanjang daftar mantan pemain yang kini menjadi pelatih di klub yang pernah dibelanya. Sebelum Andrea Pirlo, ada Zinedine Zidane (Real Madrid), Ole Gunnar Solskjaer (Manchester United), Frank Lampard (Chelsea), dan Mikel Arteta (Arsenal) yang sudah terlebih dahulu mendarat di mantan klub mereka masing-masing.
Nama Ronald Koeman yang ditunjuk sebagai pelatih Barcelona juga bisa dimasukkan dalam daftar ini. Namun perbedaannya adalah, Barca memang sudah lama memupuk tradisi menunjuk mantan pemain mereka sebagai pelatih. Ernesto Valverde yang kehilangan pekerjaannya pada Januari silam merupakan mantan pemain Barca juga.
Sementara Juventus terakhir kali dilatih oleh mantan pemain mereka pada 2014 di tangan Antonio Conte. Chelsea dilatih oleh pemainnya sendiri pada 1998 hingga 2000 saat Gianluca Vialli merangkap jabatan sebagai pemain-pelatih, sementara Arsenal terakhir kali dilatih oleh mantan pemainnya pada 1995 saat George Graham belum digeser oleh Arsene Wenger.
Ole Gunnar Solskjaer sendiri menjadi eks pemain pertama Manchester United sejak Ron Atkinson (1981-1986) yang bisa duduk sebagai manajer tetap Setan Merah. Sebelumnya ada eks winger asal Wales Ryan Giggs yang sempat menduduki kursi kepelatihan sementara United pasca pemecatan David Moyes jelang berakhirnya musim 2013/14.
Di belahan Eropa lainnya ada Simone Inzaghi (Lazio), Zinedine Zidane (Real Madrid), dan Diego Simeone (Atletico Madrid) yang juga melatih mantan klubnya. Bisa dibilang menunjuk seorang mantan pemain kini sudah menjadi sebuah langkah yang umum dilakukan banyak klub Eropa.
Namun, seberapa seriuskah sebuah klub saat memutuskan untuk mencomot nama mantan pemain yang menjadi pujaan suporter sebagai pelatih?
Anggapan bahwa menunjuk mantan pemain tak lebih dari sebuah tindakan nekat karena kondisi klub yang sedang tidak bagus setidaknya bisa terpatahkan oleh pencapaian tim-tim yang disebutkan di atas.
Setidaknya Lampard dan Solskjaer bisa membawa tim mereka menempati posisi empat besar di Liga Inggris 2019/20. Meski terpaut sangat jauh dari segi poin dengan dua klub terbaik saat ini, Liverpool dan Manchester City, pencapaian Chelsea dan Manchester United bisa dibilang bagus mengingat tak banyak yang memprediksi kedua tim ini akan mampu bersaing di zona empat besar. Lampard bahkan baru menjalani tahun keduanya sebagai pelatih, berbeda dengan Solskjaer yang kariernya sebagai juru taktik sudah membentang selama 12 tahun.
Mikel Arteta mungkin masih membutuhkan banyak waktu untuk menunjukkan kapasitasnya sebagai pelatih. Gelar Piala FA sedikit menghapus lara suporter Arsenal yang kembali gagal mendapatkan tiket Liga Champions musim ini. Trofi kompetisi sepak bola tertua di dunia itu adalah sebuah pencapaian yang layak diberi kredit mengingat Arteta baru kembali ke Emirates pada Desember lalu.
Jika ingin bicara soal pencapaian yang lebih luar biasa lagi, maka nama Zinedine Zidane dan Diego Simeone layak dikedepankan. Sementara Simone Inzaghi yang sudah melatih Lazio sejak 2016 akhirnya berhasil membawa Biancoceleste kembali ke Liga Champions setelah berada di posisi empat besar di Serie A pada akhir musim 2019/20.
Melihat daftar prestasi para mantan pemain yang melatih klubnya saat ini, kecemasan bahwa sebuah klub hanya asal-asalan saat menunjuk mantan pemain besar mereka bisa sedikit disingkirkan. Ya, keputusan penunjukkan sosok-sosok seperti Zidane, Lampard, dan Mikel Arteta terlihat seperti sebuah perjudian besar, namun waktu membuktikan bahwa nama-nama tersebut bisa membalikkan prediksi.
Tak ada yang menyangka Zizou bakal bisa menggondol tiga trofi Big Ear secara beruntun untuk El Real ketika dirinya ditunjuk menggantikan Rafael Benitez pada Januari 2016. Saat itu status Zidane adalah pelatih Real Madrid B.
Begitu halnya dengan Lampard, yang datang ke Chelsea ketika klub London Barat itu tak bisa melakukan transfer pembelian pemain dan harus kehilangan Eden Hazard di waktu bersamaan. Arteta datang ke Arsenal ketika The Gunners dalam situasi limbung setelah Unai Emery tak bisa mengangkat performa David Luiz dkk. Arteta sebelumnya 'hanya' bekerja sebagai asisten pelatih Manchester City untuk membantu Pep Guardiola.
Namun, tanda tanya lebih besar bisa dialamatkan kepada sang juara Serie A, Juventus. Penunjukkan Pirlo bukanlah hal yang sudah diantisipasi banyak penggemar sepak bola. Pasalnya eks playmaker tim nasional Italia itu sebenarnya dilimpahi tanggung jawab untuk melatih tim junior Juventus pada 30 Juli silam.
Tersisihnya Juventus dari Lyon di babak 16 besar Liga Champions menjadi akhir dari masa jabatan Sarri di Turin. Namun, situasi ruang ganti sudah bergejolak jauh hari sebelum musim 2019/20. Metode kepelatihan Sarri dianggap tidak cocok untuk beberapa pemain Juventus, termasuk sang mega bintang, Cristiano Ronaldo. Bisa dibilang, tersisihnya Juventus di tangan Lyon hanyalah alasan semu di balik keputusan manajemen Juventus untuk mendepak Sarri.
Lalu, apa yang berubah dalam hitungan hari di Turin? Entahlah. Manajemen Juventus saat ini dikenal sebagai salah satu yang terbaik di Eropa. La Vecchia Signora adalah salah satu klub yang tahu bagaimana caranya bersinar di atas dan di luar lapangan. Penunjukkan Pirlo, mengundang banyak pertanyaan. Tak ada yang meragukan kapasitasnya sebagai seorang pemain, tapi Pirlo adalah sebuah kanvas kosong dalam dunia kepelatihan.
Waktu akan menjawab apakah Juventus sudah melakukan langkah yang tepat atau tidak. Apakah mereka hanya menggunakan nama Pirlo sebagai batu loncatan karena mereka tak punya pilihan dan menunggu pelatih baru yang lebih siap atau sekadar sebagai pengalihan di mata suporter untuk menutupi kekacauan yang sedang terjadi. Atau mereka memang benar-benar memiliki kepercayaan penuh kepada Pirlo.